Cerpen Agus Sanjaya

Badut Seratus Koin

Bunga-bunga illawari mulai berguguran, menyebar di jalan menuju Desa Azuria. Merah warnanya membuat mata tak berhenti memandang. Seperti karpet merah untuk model ternama melangkahkan kakinya, hanya saja jauh lebih panjang membentang.

Keindahan itu mungkin tidak bisa dirasakan oleh sepasang suami istri miskin. Mereka hanya memikirkan nasib perut, bagaimana cara mengumpulkan uang untuk membeli sekantong gandum. Kemiskinan harus membuat keduanya merasakan perihnya perut yang melilit. Sungguh ironi yang tak pernah dimengerti oleh penguasa.

Sang suami mencari beberapa ubi yang masih tersisa di pekarangan rumah. Ia mencabut dan membawanya untuk dibakar. Rupanya ubi itu tidak manis sama sekali, hambar seperti kehidupan suami istri tersebut. Meski begitu mereka tetap bersyukur, Tuhan masih memberikan mereka rezeki dan kesehatan.

Mereka menanam jagung di ladang kecil milik orang lain. Sistemnya menyewa lahan, dalam sebulan keduanya harus membayar dua koin emas. Saat panen berlimpah suami istri itu akan bahagia, tetapi saat hama tikus menyerang mereka menjadi rugi besar dan hidup sengsara.

Bibit jagung yang mereka beli dengan harga mahal akan sia-sia. Sementara biaya sewa lahan harus tetap dibayarkan. Tentu saja menjadi utang yang kian menumpuk. Layaknya salju yang terus turun di musim dingin.

"Teddy, kulihat wajahmu semakin suram saja," kata Erick.

"Bagaimana tidak suram? Kami ini menderita, Bung."

"Haha, aku sudah mengetahuinya."

Teddy nampak emosional. "Untuk apa kau bertanya?!" 

"Tenang Bung! Tenang!" kata Erick meminum teh hangatnya, istri Teddy yang menyiapkan teh tersebut tanpa gula karena mahal. "Rasanya sangat manis."

Teddy tertawa lepas, sindiran Erick mengocok perutnya. Belum pernah ia bisa sesenang ini, padahal himpitan hidup kian menyiksanya. "Teh itu dicampur istriku dengan madu hutan."

"Memangnya aku bodoh, bisa kau bohongi." Erick menghela napasnya.

"Kau sebenarnya ke mari, untuk menghibur atau mengejekku?"

"Aku sebenarnya ingin menyarankanmu ke Tuan Miller, beliau memiliki kekayaan yang luar biasa. Apa kau tak ingin meminjam uang padanya?"

Teddy sangat serius mencerna perkataan Erick. Tuan Miller sepertinya bisa membantu Teddy untuk bangkit. Jika Tuan itu mau meminjamkan uangnya, maka utang Teddy akan sedikit menyusut. Lalu Teddy dan istrinya bisa hidup dengan tenang.

Teddy mengikuti saran Erick. Besok sebelum matahari terbit, ia dan Erick akan pergi ke rumah Tuan Miller yang ada di desa tetangga. Yakni Desa Azalea. Rumah Tuan Miller terkenal paling megah diantara yang lainnya. Maklum beliau adalah pemilik banyak lahan di desa tersebut, patut jika kekayaannya berlimpah ruah.

***

Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan. Akhirnya Teddy dan Erick sampai di rumah Tuan Miller. Rumahnya seperti istana Raja Louis dari generasi ke generasi. Arsitektur bergaya Roma kuno sangat indah dipandang mata.

"Halo Tuan, ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang wanita muda dengan pakaian khusus, mungkin dia adalah pelayan Tuan Miller.

"Permisi Nyonya, saya Erick dan ini teman saya namanya Teddy. Apa kami bisa bertemu dengan Tuan Miller?"

"Tuan Miller saat ini sedang bersantai di kolam pribadinya. Mari saya antar menemuinya!"

Erick segera mengikuti wanita itu masuk ke dalam rumah. Teddy yang awalnya ragu dan malu-malu, akhirnya ikut membuntuti Erick dan pelayan tadi pergi. Perjalanan mereka lumayan panjang, kolam pribadi Tuan Miller berada jauh di dalam. Mereka harus melewati beberapa ruangan, mulai ruang tamu dengan air mancurnya yang indah. Ruangan barang antik, ruang keluarga yang tidak boleh dimasuki orang luar. Kamar mandi berlapis permata dan berlian. Ruang bawah tanah dengan lorong yang sangat panjang, taman dengan tanaman hias impor dari China dan Jepang. Lalu sampailah mereka di kolam pribadi tersebut.

Kolam itu dipenuhi lampu warna-warni. Bebatuan dan bunga yang berada di sana didatangkan dari tujuh negara. Bisa dibayangkan sendiri kekayaan yang dimiliki Tuan Miller. Seseorang yang juga cucu konglomerat di Desa Azalea, Tuan Millan Cruise.

"Ada apa kau ingin menemuiku?" tanya Tuan Miller pada inti permasalahannya.

"Saya sedang kesulitan ekonomi. Apakah Tuan mau menolong saya?" tanya Teddy dengan penuh harap.

"Aku sudah menduga, pasti seseorang yang datang ke padaku membutuhkan uang. Sekarang minta temanmu pergi! Aku ingin bicara pribadi denganmu."

"Baik Tuan."

Setelah Erick pergi dari sana, Tuan Miller segera melanjutkan bicaranya. "Kau butuh berapa?"

"Saya butuh lima puluh koin emas, Tuan."

"Itu terlalu kecil untukku, apa kau mau kubayar seratus koin emas?"

"Benarkah Tuan?" tanya Teddy tidak percaya.

"Tentu, asal kau mau menghiburku. Aku akan memberimu uang secara percuma," kata Tuan Miller sambil membuka peti yang berisi penuh dengan koin emas, seperti peti milik The Flying Dutchman di legenda kapal berhantu.

"Pasti Tuan, saya siap melakukan apapun!"

"Baiklah, sekarang kau harus mengambil pisang ini dengan mulutmu!" kata Tuan Miller melempar pisang itu ke tanah, Teddy harus mengambilnya seperti seekor binatang piaraan. 

Tuan Miller tertawa kecil, mainan barunya ini sungguh menyenangkan. Saat beliau terpuruk karena penyakit jantungnya, hiburan dari Teddy seolah suntikan kebahagian. Tuan Miller seperti terlahir kembali ke dunia. Semangatnya kembali membara.

Selanjutnya Tuan Miller meminta Teddy untuk berdandan seperti badut. Lalu Teddy melakukan aksi lempar tangkap dengan beberapa bola, tak hanya itu Teddy juga diminta bergoyang. Teddy benar-benar lelah, tetapi demi uang ia akan melakukan segalanya.

Hari menjelang sore. Teddy diperbolehkan untuk pulang, bahkan Tuan Miller memberikan dua puluh koin emas. Beliau berjanji akan memberikan sisanya, jika Teddy akan kembali lagi besok. Teddy pulang dengan keadaan menyedihkan. Keringat membasahi bajunya, rambut berantakan dan bau menyengat karena habis dilempari telur. Istrinya sangat iba dengan keadaan sang suami. "Apakah kau akan kembali besok?"

"Tentu saja, ini demi kehidupan kita. Sekarang lihatlah ini! Kita punya banyak uang," kata Teddy menunjukkan sekantong koin emas hasil pekerjaannya hari ini.

"Tapi kamu hanya dibuat mainan, aku sedih melihatmu seperti ini!" lirih sang istri yang bernama Dessy, tak terasa air matanya menetes.

Teddy memeluk istrinya dengan hangat, ia berusaha menenangkan sebisa mungkin. "Jangan menangis cantikku! Aku bekerja seperti ini juga demi kamu."

"Baiklah."

***

Keesokan harinya Teddy kembali ke rumah Tuan Miller. Sebelum berangkat ia sudah makan dengan banyak, mengantisipasi pekerjaannya yang sangat menguras tenaga. Tetapi Teddy sangat senang, ia bahagia memiliki pekerjaan itu. Meski hanya sebagai badut penghibur.

Tuan Miller memasangkan rangkaian sosis di tubuh belakang Teddy, lalu melepaskan anjing peliharaannya untuk mengejar. Sungguh hiburan tersendiri untuk Tuan Miller, tetapi untuk Teddy adalah hukuman paling mengerikan. Anjing besar jenis herder itu terus mengejarnya. Jika Teddy sampai digigit, sungguh pengalaman yang menakutkan.

Beruntung Tuan Miller segera meminta pelayannya untuk menangkap anjing itu. Teddy rasanya bisa bernapas dengan lega. Setelah tantangan itu, Teddy kini dilempari dengan tomat. Wajah dan pakaiannya kini merah dan kotor. Lalu Teddy didorong hingga jatuh ke dalam kolam renang. "Aku sudah tidak kuat tertawa lagi," kata Tuan Miller memegangi perutnya yang kram.

Air mata kebahagian menetes. Jantungnya berpacu lebih kencang daripada biasanya, dada Tuan Miller rasanya seperti tercekat. Beliau merasakan sakit di dadanya, mungkin penyakit jantungnya kambuh. Teddy yang kebingungan mulai berteriak memanggil pertolongan. Semuanya sudah terlambat. Tuan Miller sudah meninggal dunia dengan kebahagian yang luar biasa di akhir hayatnya.

November, 2021

Puisi Agus Sanjaya

Sayang Kamu
Tiada yang lebih hangat, daripada dekapanmu
Sebab kamu: selalu pandai menampar angin
Yang terus menggoda perut dan leherku
Aku akan selalu menyayangimu
Meski kau tak punya kaki
2 Juni 2022

Tak Punya Tangan
Setiap kali aku ingin tidur, kau selalu meninabobokkan. 
Walau dengan keterbatasanmu, yang terdiam lumpuh di tempat. 
Dengan kepala hanya menoleh: ke kiri dan kanan, 
tanpa memiliki sepasang tangan. Kau sungguh luar biasa, Sayang.
2 Juni 2022

Saat Kau Lenyap
Setiap bulan
Kau pasti lenyap
Membuat duniaku senyap
Dan aku jadi gila
Mencari-cari penggantimu
Kau memang menyebalkan!
6 Juni 2022


Biodata Penulis

Agus Sanjaya lahir di Jombang, 27 Agustus 2000. Ia mendapatkan juara favorit dalam Lomba Cipta Puisi Nasional Catatan Pringadi tahun 2022. Buku pertamanya berjudul Akar Kuning Nenek, serta keduanya berjudul Lima Sekawan terbit di Guepedia tahun 2020. Saat ini ia tengah sibuk kuliah, mengirimkan karya ke media, dan bergiat menimba ilmu di COMPETER Indonesia serta Kelas Puisi Bekasi

Nyrtea

Glowing Maximal Tanpa Menguras Dompet Berlebih Manfaat untuk kesehatan kulit: - Mencegah penuaan dini - Mempercepat proses penye...