Puisi Agus Sanjaya
Cerpen Agus Sanjaya
Ilusi Kalvaria
Terlihat seorang pemuda memakai jas almamater tengah duduk di kursi depan perpustakaan Universitas Nirwana. Matanya memperhatikan handphone yang sedari tadi dipegangnya, nampaknya ia sangat serius hingga tak sadar jika ada yang menepuk pundaknya.
"Gue dari tadi nyariin Lo kemana aja, ternyata di sini." kata temannya yang bernama Deni.
"Gue dari tadi di sini, mikirin tugas akuntansi pusing banget nih bro." jawab seseorang bernama Rian itu, nampaknya ia frustasi.
"Ya elah, ayo ngopi aja ke kantin biar gak pusing."
"Ya deh, ayo!"
Tukang kebun nampak sedang merawat bunga yang tumbuh di depan Gedung F, mereka berpakaian seragam berwarna merah. Mereka diawasi oleh dosen yang berbadan besar dan berkepala botak, durasi waktu dipercepat karena setelah itu akan ada mata kuliah.
"Lihatlah! Mereka nampak semangat bekerja." kata Rian.
"Betul, gue jadi ingat sebuah cerita." kata Deni menanggapi.
"Lo pernah dengar kisah Kerajaan Kalvaria?"
"Apa itu?"
"Gue akan menceritakan kisahnya."
***
Tersebutlah sebuah kerajaan besar bernama Kalvaria, di dalamnya terdapat sebuah kastil besar, air mancur dan juga kebun binatang. Kerajaan sangatlah damai dengan pemimpin ratu nan adil, hingga suatu saat kaum penghianat memberontak. Hancurlah seluruh kehidupan, rakyatpun ikut menderita.
Hal itu terjadi ketika kaum penghianat diberikan semua kemewahan, tanggungjawab, tahta dan juga kewenangan. Membuat terlena hingga memiliki niat buruk memberontak kerajaan.
Puncak pemberontakan adalah penculikan sang putri, lalu disekap dalam penjara keterasingan. Pemberontak geram saat beredar kabar burung, yakni sang ratu tiap harinya menggunakan satu peti emas negara untuk berfoya-foya. Salah satu abdi yang masih setia adalah kakaktua, meski ia berada dalam penjara yang berada di belakang istana, ia tak pernah mengkhianati kerajaan.
Tak kalah kejamnya, musuh kerajaan yang lain, sudah membawa senjata. Namun senjata bukanlah pedang semata, senjata ini lebih ampuh yakni membodohkan rakyat. Rakyat yang sudah mengenal teknologi semakin dibodohkan dengan permainan, bahkan teknologi membuat rakyat menjadi malas, akhirnya semua prestasi hancur tiada tersisa.
"Bagaimana ini Ratu, semuanya berantakan seperti ini?"
"Aku juga bingung untuk melakukan apa."
"Bahkan lingkungan kerajaan tak tertata, banjir dimana-mana, apa ini karena ulah kita sendiri membabat pepohonan sampai habis?"
"Diamlah kau? Kau juga menikmati uangnya, jika kau tak bisa menutup mulutmu aku akan memecatmu!"
"Ampuni saya, saya tidak akan bicara ini pada siapapun."
Apapun yang dilakukan kerajaan, seperti membuat saluran air baru. Maupun program prestasi rakyat itu sudah tidak berguna lagi, semuanya kini berada di ujung tanduk. Bisa dilihat bahwa banjir sudah semakin besar dan merendam seluruh kerajaan, lalu prestasi rakyat yang mulai menurun, pemberontakan, harga diri sudah mulai hancur.
Surya kembali bersinar dengan terangnya. Suasana kehangatan begitu terasa di kerajaan, saat itu kemunculan kesatria-kesatria langit. Mereka tak hanya bertarung menggunakan senjatanya, namun juga kecerdasan yang mereka miliki.
Hujan kembali menetes di kerajaan, banjir kembali datang dan menenggelamkan seluruh lembaga istana. Dengan kekuatan angin, air yang membanjirinya dilemparkan ke udara. Lalu dengan sebuah pemikiran mereka permainan teknologi, disulap menjadi kegiatan-kegiatan yang memberikan ilmu pada mereka.
Setelah hujan datang, pelangi muncul dengan warnanya nan indah. Keindahannya menaungi seluruh kerajaan, hingga sang ratu dihukum mati atas perbuatannya sendiri. Kehidupan kerajaan kembali damai sentosa, dengan pemimpin salah satu dari Kesatria langit.
"Semoga kisah itu bisa menjadi pelajaran buat Lo." kata Deni mengakhiri ceritanya, lalu tiba-tiba ia menghilang, Ryan beranggapan bahwa Deni adalah kesatria dari Kerajaan Kalvaria yang menjelajah waktu.
Majalah Express UKM Penalaran 2020
Puisiku dimuat di Riau Sastra
Mungkinkah bapak masih mengingat kami?
Padahal dulu kita sering makan cimol bersama
Selengkapnya di https://www.riausastra.com/2021/10/11/puisi-tuan-jacky-yang-tua/
Selamat menikmati
Masa Pecah Ketuban
Agus Sanjaya
Harapanku mulai terpupus habis. Saat melihat dunia terbaring bangga. Di sana kumelihat tikus-tikus kejang bergeletakan, juga roti gulung disajikan busuk. Gerhana mulai terbenam di persimpangan khatulistiwa. Kafan-kafan berjalan di malam hari mencari mangsa.
Tengah malam pintuku diketuk tiga kali. Suara kematian dari mobil jenazah memekakkan telinga, bayangan tetanggaku direnggut satu persatu. Raja selalu memuja surat emasnya, digulung menjadi teka-teki tiada solusi. Jiwa-jiwa suci dibanting berserakan bak sampah di tahun baru.
Kami melewati pecah ketuban dengan segala tanda tanya dan ketakutan tiada henti.
(Masih dalam situasi yang sama)
Jombang, 7 juli 2021
Terlalu Klise
Terlalu Klise
Agus Sanjaya
Kau menjauh dengan tangan melambai. Jejak kakimu seakan menghilang tertiup angin. Gula-gula yang telah kau berikan kini terasa pahit, seakan rasa manis takkan tersisa lagi. Air terjun mengaliri pipiku, melihat sandiwara yang kau pertontonkan di malam minggu. Bayangan yang dulu kurindukan seperti oase padang pasir, kini menghabisi nyawaku dengan keji. Perasaan hangat yang setiap pagi kau sinarkan, kini layaknya sebuah dongeng yang diceritakan pada anak sebelum tidur. Aku menyaksikan hatiku sudah kau masak dengan aneka bumbu. Kau makan seperti hewan kelaparan. Setelah itu kau tinggalkan aku dengan berselimutkan air hujan. Malam terasa dingin menusuk tulang selangka. Kau tersenyum sinis, seakan aku anak kucing yang ditinggal majikannya. Aku terdiam di tepi danau, menunggu mataku yang perlahan mulai terpejam. Hingga semuanya gelap dan dunia terasa menghilang dari genggaman tanganku.
Jombang, 13 Juli 2021
My Poem2 (Sepahit Kopi)
Sepahit Kopi
Masa itu kami habiskan dengan segelas kopi
Mengisi canda dan bahagia kehidupan
Hingga mereka pun datang membawa sepi
Mengisi kami dengan kesuraman abadi
Kami diam terbungkam
Menyaksikan setiap jalan dipenuhi seonggok daging bergeletakan
Membusuk dipenuhi lalat tak siapapun peduli
Kabar menyebut mereka tak pernah berhenti
Sampai bumi menjadi sepahit kopi
Menyisakan anak tanpa ayah, atau istri tanpa suami
Kami berdiri mengumandangkan lagu kematian
Burung gagak memenuhi langit, menutupi surya hingga sinarnya tak nampak lagi
Biarlah kenangan minum kopi disana masih mengganjal di hati
Kami hanya mampu melabuhkan doa di luar tempat suci yang rapat terkunci
Jombang, 20 Juni 2020
My Poem (Senandung Malam)
Senandung Malam
Cokelat berlapis tanah berembun
Buihnya ternodai tinta hitam
Ketika bangku kesepian
Mengharap rembulan berganti masa
Dia datang membawa lindu manis
Sedikit pahit membekas di ceruk malam
Ampas telah ditinggalkan awan
Meraba kehangatan hingga pagi
Menyiram mata dengan kesempurnaan kaki
Terjaga dengan jelaga hitam pembawa sepi
Mengarungi rasa dalam setiap lorong kata
Bunyikan diam dengan suara lantang
Meski bekasnya terpenjara kelam
Jombang, 30 Agustus 2020
Nyrtea
Glowing Maximal Tanpa Menguras Dompet Berlebih Manfaat untuk kesehatan kulit: - Mencegah penuaan dini - Mempercepat proses penye...

-
Ilusi Kalvaria Terlihat seorang pemuda memakai jas almamater tengah duduk di kursi depan perpustakaan Universitas Nirwana. Matany...
-
Badut Seratus Koin Bunga-bunga illawari mulai berguguran, menyebar di jalan menuju Desa Azuria. Merah warnanya membuat mata tak berhenti mem...
-
Puisi Tema:ketuhanan Judul:terimalah taubatku tuhan Tuhan... Di atas sajadah suci diri ini bertemu denganmu Melepas segala keluh...